Kader PDIP Harun Masiku menjadi tersangka dalam kasus suap yang melibatkan komisioner KPU Wahyu Setiawan. Harun Masiku didorong oleh PDIP sebagai anggota DPR pengganti karena rekam jejaknya dinilai bagus.
Dikutip dari laman KPU, Harun Masiku lahir pada 21 Maret 1971 di Jakarta. Namun dia dibesarkan di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, dan menyelesaikan pendidikan menengahnya di sana. Dia kemudian berkuliah di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (Unhas), Makassar, pada 1989-1994. Lalu melanjutkan pendidikan S2 di Jurusan Hukum Ekonomi Internasional di Universitas Warwick, Inggris, pada 1998-1999.
Dia punya beberapa pengalaman berorganisasi saat kuliah. Beberapa di antaranya Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) pada 1989-1994 dan Ketua Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) United Kingdom West Midland pada 1998-1999.
Harun meniti karier sebagai seorang advokat. Dia pernah menjadi lawyer pada Dirnhart & Association Law Firm & Jakarta (1994-1995), dan Corporate Lawyer PT Indosat Jakarta (1996-1998), Research Fellow University of Warwich United Kingdom (1998-2002).
Dia juga sempat menjadi Senior Partner Johannes Masiku & Associates Law Offices, Jakarta, pada 2003 dan tenaga ahli anggota Komisi III DPR-RI pada 2011.
Harun pun mulanya bergabung dengan Partai Demokrat (PD). Dia bahkan sempat menjadi anggota Tim Sukses Pemenangan Pemilu dan Pilpres PD tahun 2009 Sulteng. Namun ia kemudian berpindah ke Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Ia menjabat Bendahara DPD PDIP Sumsel dan maju sebagai caleg DPR RI dari Dapil Sumsel 1 nomor urut 6. Namun Harun gagal melenggang ke Senayan.
Dalam perjalanannya, pada Desember 2019, Harun didorong PDIP untuk menjadi anggota DPR pengganti. Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto mengatakan partainya memang mendorong Harun Masiku untuk menggantikan Nazaruddin Kiemas, yang meninggal dunia, di kursi DPR RI. Hasto menjelaskan pemilihan tersebut didasarkan atas jejak karier Harun Masiku yang dinilai bersih.
“Dia sosok bersih dan dalam upaya pembinaan hukum juga selama ini cukup baik track record-nya,” kata Hasto di JIExpo Kemayoran, Jakarta, Kamis (9/1/2020).
Hasto menyebut keputusan tersebut juga dipertimbangkan melalui hasil putusan Mahkamah Agung (MA) yang memutuskan bahwa PDIP memiliki hak mengganti Nazarudin Kiemas dengan Harun Masiku.
“Tanpa adanya keputusan MA tersebut, kami tidak mengambil keputusan terhadap hal itu,” tegas Hasto.
Hasto berdalih, jika seorang anggota partai politik yang menduduki jabatan publik meninggal dunia, berdasarkan putusan MA, partai politik memiliki hak menentukan penggantian tersebut.
Namun, pada akhirnya, Harun terjerat kasus suap. Dalam kasus ini, KPK menetapkan empat orang tersangka, yaitu Wahyu Setiawan, Agustiani Tio Fridelina sebagai orang kepercayaan Wahyu Setiawan dan mantan anggota Badan Pengawas Pemilu, Harun Masiku sebagai calon anggota legislatif (caleg) dari PDIP, dan Saeful sebagai swasta. Wahyu dan Agustiani ditetapkan sebagai tersangka penerima suap, sedangkan Harun dan Saeful sebagai tersangka pemberi suap.
Pemberian suap kepada Wahyu itu diduga untuk membantu Harun dalam pergantian antarwaktu (PAW) caleg DPR terpilih dari Fraksi PDIP yang meninggal dunia, yaitu Nazarudin Kiemas pada Maret 2019. Namun, dalam pleno KPU, pengganti Nazarudin adalah caleg lainnya atas nama Riezky Aprilia.
Wahyu Setiawan diduga menerima duit Rp 600 juta terkait upaya memuluskan permintaan Harun Masiku untuk menjadi anggota DPR PAW. Duit suap yang diminta Wahyu Setiawan dikelola Agustiani Tio Fridelina (ATF). Sampai sekarang Harun masih belum menyerahkan diri ke KPK.
Tonton juga Kode Komisioner KPU Wahyu Setiawan Minta Rp 900 Juta: ‘Siap Mainkan’ :