Jakarta – Tidak ada properti yang tidak bisa dicuri oleh Hollywood. Setelah gagal mempersembahkan versi Hollywood dari monster rekaan Toho dari Jepang pada tahun 1998 dengan sutradara spesialis bujet raksasa Roland Emmerich, Hollywood terus berjuang untuk mencari cara bagaimana mereka mempersembahkan monster menyeramkan-tapi-baik ini sebagai bagian dari Keluarga Hollywood. Warner Bros. Dan Legendary Pictures akhirnya menemukan jawabannya dengan Godzilla versi Gareth Edwards yang dirilis pada tahun 2014. Dengan bujet 160 juta dollar mereka berhasil meraup tiket penonton dunia di angka 530 juta dollar. Lima tahun kemudian sekuel pertamanya dirilis.
Berbeda dengan versi Edwards yang lebih slow-burn untuk ukuran film monster, Godzilla: King of Monsters langsung dimulai dengan babibu aksi tanpa henti sampai akhirnya end credits bergulir. Dalam openingnya kita melihat suami istri Emma (Vera Varmiga) dan Mark (Kyle Chandler) bersama anak perempuannya, Madison di tengah reruntuhan San Fransisco pada kejadian tahun 2014. Loncat lima tahun kemudian, kita melihat sebuah gambaran keluarga yang berduka.
Mark dan Emma sepertinya sudah lama tidak berbicara. Sepeninggal anak lelaki mereka, benang mereka diantara mereka adalah si Madison remaja (Millie Bobby Brown, diimpor dari serial Stranger Things). Emma dan Madison sendiri adalah gambaran anak ibu yang kompak dan pintar. Emma bekerja untuk Monarch, sebuah organisasi yang memang memfokuskan diri untuk meneliti para Titans, makhluk-makhluk raksasa yang dianggap sebagai Tuhan/Dewa Lama.
Hari itu dia bersama Madison pergi ke laboratorium untuk melihat Mothra, sebuah larva raksasa yang sepertinya akan melahirkan. Dengan alat buatannya sendiri yang disebut dengan ORCA, Emma bisa mengendalikan para Titans. Belum selesai mereka melihat Mothra, laboratorium mereka diserang oleh organisasi yang peduli dengan lingkungan yang dipimpin oleh Alan Jonah (Charles Dance, diimpor dari serial Game of Thrones).
Mark yang sekarang fokus untuk meneliti hewan-hewan liar mendapatkan telpon dari Dr. Vivienne Graham (Sally Hawkins, sangat disia-siakan) dan Dr. Serizawa (Ken Watanabe) bahwa istri dan anaknya diculik. Keadaan makin memanas ketika Jonah meminta Emma untuk melepas “Monster Zero” yang ternyata adalah King Ghidorah, Titans yang tidak bisa dikendalikan. Sekarang nasib Bumi terancam dan hanya Godzilla yang bisa menyelamatkan mereka.
Yang menarik dari Godzilla versi Edwards yang dirilis tahun 2014 adalah keputusan Edwards untuk membuat film monster raksasa tersebut sebagai sebuah slow-burn thriller. Keputusannya untuk menahan kemunculan sosok Godzilla sampai satu jam setelah film diputar adalah sebuah gambling yang akhirnya dibayar dengan lunas. Karena ketika Godzilla muncul dan memporak-porandakan layar, penonton ikutan senang.
Hal tersebut kemudian langsung dibuang ketika Legendary Pictures merilis film yang katanya nanti akan menjadi lawan Godzilla, Kong: Skull Island. Berbeda dengan Godzilla, Kong: Skull Island tidak tanggung-tanggung dalam menampilkan si monster. Dari opening kita langsung disajikan si raksasa tersebut. Untungnya Kong: Skull Island menampilkan rasa yang sama sekali berbeda. Suasananya lebih laidback sehingga film tersebut menjadi lebih fun meskipun karakter-karakter manusianya tidak menggigit (padahal ada Tom Hiddleston dan Brie Larson).
Bagaimana dengan Godzilla: King of Monsters? Film ini terasa seperti dua film yang berbeda yang rasanya sungguh berbeda. Ketika Michael Dougherty fokus dengan karakter-karakter manusianya, film ini terasa begitu lemah dan membosankan. Bahkan meskipun Dougherty dan Zach Shields sudah memasang satu keluarga sebagai komponen emosional utama film ini (dan beberapa karakter dari film pertamanya sengaja dimatikan), film ini belum bisa menyamai emosi yang bisa disampaikan oleh Gareth Edwards yang salah satu kritikan terbesarnya adalah karakter-karakter yang lemah. Dibandingkan dengan ini, versi Gareth Edwards terasa seperti drama buatan Mike Nichols. Paling tidak versi Gareth Edwards bisa memberikan adegan kematian (Juliette Binoche dan Bryan Cranston yang sungguh berakting dengan apik) yang membuat penonton sesak nafas.
Tapi ketika Dougherty fokus dengan para Titans, para monster yang mengisi penuh layar, Godzilla: King of Monsters menjadi tontonan blockbuster yang cukupan. Anda tidak perlu berfikir banyak dan biarkan rekaan CGI dengan sound system menggelegar menghibur Anda. Menyaksikan Godzilla melawan Ghidorah ternyata menjadi hiburan yang cukup menyenangkan. Suara-suara meraung dan sound effect yang memekakkan telinga ternyata bisa menjadi hiburan tersendiri.
Editing Godzilla: King of Monsters juga tidak membantu filmnya untuk melayang tinggi. Film ini hanya beberapa menit lebih panjang dari film pertamanya tapi rasanya seperti jauh lebih lama. Hubungan antara karakternya sungguh hampa. Meskipun banyak yang terjadi antara karakternya (plot twist, kematian, kesadaran diri, perubahan prinsip, pengorbanan dan segala macamnya) tapi rasanya tidak bombastis. Dialog-dialognya juga sungguh menyebalkan. 90% yang diucapkan karakternya adalah eksposisi agar kita tetap bisa keep up dengan plot yang disampaikan oleh pembuat filmnya.
Sebagai sebuah film yang tujuannya adalah menjual merchandise agar anak/ponakan Anda terobsesi dengan Godzilla dan monster-monster hebat di dalamnya, Godzilla: King of Monsters sungguh berhasil menjadi iklan termegah yang pernah ada. Sebagai sebuah tontonan di kala penat menunggu macet/buka puasa film ini juga patut dijajal. Tapi dibutuhkan lebih dari sekedar Godzilla mengaum untuk menjadika Godzilla: King of Monsters sebuah film yang memberikan kesan yang panjang.